puisi puisi di film Gie catatan seorang demonstran
Posted: Minggu, 28 Agustus 2011 by Fathurohman Alfiandi in Label: Gie
0
puisi terakhir soe hok gie
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah,Aada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di wiraza,Tetapi aku ingin menghabiskan waktu ku disisi mu sayang ku….
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucuAtau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandala wangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danangAda bayi-bayi yang lapar di BiafraTapi aku ingin mati disisi mu maniskuSetelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanyaTentang tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu
Mari sini sayangngkuKalian yang pernah mesra Yang pernah baik dan simpati padakuTegaklah ke langit luas Atau awan yang menangKita tak pernah menanamkan apa-apaKita takkan pernah kehilangan apa-apa
Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirYang kedua dilahirkan tapi mati mudaDan yang tersial adalah berumur tuaBerbahagialah mereka yang mati mudaMahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiadaBerbahagialah dalam ketiadaanmu
Sebuah Tanya
akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih,
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih,
lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri,
kau dan aku tegak berdiri,
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
"apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi,
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
"apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi,
kota kita berdua,
yang tua dan terlena dalam mimpinya.
kau dan aku berbicara.
tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
apakah kau masih akan berkata
apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu.
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?
(haripun menjadi malam
kecuali dalam cinta?
(haripun menjadi malam
kulihat semuanya menjadi muram
wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
“manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru”